A.
PENDAHULUAN.
Berbicara
tentang Etika Birokrasi dewasa ini menjadi topik yang sangat menarik dibahas,
terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa. Kecenderungan
atau gejala yang timbul dewasa ini banyak aparat birokrasi dalam pelaksanaan
tugasnya sering melanggar aturan main yang telah ditetapkan. Etika Birokrasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan moralitas dan
mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan itu
sendiri yang tercermin lewat fungsi pokok pemerintahan , yaitu fungsi
pelayanan, fungsi pengaturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat.
Jadi berbicara tentang Etika Birokrasi berarti kita berbicara tentang bagaimana
aparat Birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi tugasnya sesuai dengan
ketentuan aturan yang seharusnya dan semestinya, yang pantas untuk dilakukan
dan yang sewajarnya dimana telah ditentukan atau diatur untuk ditaati
dilaksanakan.
Menjadi
permasalahan sekarang ini bagaimana proses penentuan Etika dalam Birokrasi itu
sendiri, siapa yang akan mengukur seberapa jauh etis atau tidak, bagaimana
dengan kondisi saat itu dan tempat daerah tertentu yang mengatakan bahwa itu
etis saja di daerah kami atau dapat dibenarkan, namun ditempat lain belum
tentu. Dapat dikatakan bahwa Etika Birokrasi sangat terpergantung dari seberapa
jauh melanggar di tempat atau daerah mana, kapan dilakukannya dan pada saat
yang bagaimana, serta sangsi apa yang akan diterapkan sangsi social moral
ataukah sangsi hukum, semua ini sangat temporer dan bervariasi di negara kita
sebab terkait juga dengan aturan, norma, adat dan kebiasaan setempat.
Dalam
penulisan ini kami akan mencoba membahas tentang apa yang dimaksudkan dengan
Etika, mengapa kita memerlukan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dari mana Etika Birokrasi dibentuk dan sejauhmana peraturan
Kepegawaian dapat menjadi bagian dari penerapan Etika Birokrasi di negara kita.
B. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan
kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan
kesusilaan. Dalam pengertian kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan
sebetulnya tercakup juga adanya kesediaan karena kesusilaan dalam dirinya minta
minta ditaati pula oleh orang lain.
Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian
yaitu etika meliputi Kesediaan dan Kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa
Latin dikenal dengan kata Mores yang berati kesusilaan, tingkat salah saru
perbuatan (lahir, tingkah laku), Kemudian perkataan Mores tumbuh dan berkembang
menjadi Moralitas yang mengandung arti kesediaan jiwa akan kesusilaan. Dengan
demikian maka Moralitas mempunyai pengertian yang sama dengan Etika atau
sebaliknya, dimana kita berbicara tentang Etika Birokrasi tidak terlepas dari
moralitas aparat Birokrasi penyelenggara pemerintahan itu sendiri.
Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari pada ilmu pengetahuan
(cognitive) bukan pada efektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan
seamangat kelompok masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat,
tidak ada moral bila tidak ada masyarakat dan seyogyanya tidak ada masyarakat
tanpa moral, dan berkaitan dengan kesadaran kolektif dalam masyarakat. Immanuel
Kant, teori moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi
menyangkut masalah yang ada dalam kontak social dengan masyarakat, ini berarti
Etika tidak hanya sebatas moralitas individu tersebut dalam artian aparat
birokrasi tetapi lebih dari itu menyangkut perilaku di tengah-tengah masyarakat
dalam melayani masyarakat apakah sudah sesuai dengan aturan main atau tidak,
apakah etis atau tidak.
Menurut Drs.Haryanto, MA. Bahwa Etika merupakan instrumen dalam masyarakat
untuk menuntun tindakan (perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik
dan dapat lebih bermoral. Ini berarti Etika merupakan norma dan aturan yang
turut mengatur perulaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai
dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakannya
bermoral.
Dari beberapa pendapat yang menegaskan tentang pengertian Etika di atas
jelaslah bagi kita bahwa Etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung
dari penilaian masyarakat setempat, jadi dapat dikatakan bahwa moral merupakan
landasan normative yang didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri
dan landasan normative tersebut dapat pula dinyatakan sebagai Etika yang dalam
Organisasi Birokrasi disebut sebagai Etika Birokrasi.
C. Alasan Pentingnya Etika Dalam Birokrasi.
Ketika kenyataan yang kita inginkan jauh dari harapakan kita, maka pasti
akan timbul kekecewaan, begitulah yang terjadi ketiga kita mengharapkan agar
para aparatur Birokrasi bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, kejujuran dan
keadilan dijunjung, sementara yang kenyataan yang terjadi mereka sama sekali
tidak bermoral atau beretika, maka disitulah kita mengharapkan adanya aturan
yang dapat ditegakkan yang menjadi norma atau rambu-rambu dalam melaksanakan
tugasnya. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang yang perlu
diperhatikan oleh aparat Birokrasi tadi.
Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam
pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, menurut Agus
Dwiyanto, bahwa :pertama masalah – masalah yang dihadapi oleh
birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas
masyarakat yang semakin meningkat telah melahirkaan berbagai masalah – masalah
publik yang semakin banyak dan komplek dan harus diselesaikan oleh birokrasi
pemerintah. Dalam memecahkan masalh yang berkembang birokrasi seringkali tidak
dihadapkan pada pilihan – pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para
pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara
baik dan baik, yang masing – masing memiliki implikasi yang saling berbenturan
satu sama lain.
Dalam kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para
pejabat birokrasi seringkaali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus
memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan
masyarakatnya. Masalah – masalah yang ada dalam “grey area “seperti ini
akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas
masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam
memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapinya.
Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan
dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang
terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments
agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya.
Kemampuan untuk bisa melakukan adjustment itu menuntut discretionary
power yang besar. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat
dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang
tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan
kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang
tinggi mengenai kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat
dilakukan melalui pengembangan etika birokrasi.
Walaupun pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan
birokrasi namun belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Sejauh ini
baru lembaga peradilan dan kesehatan yang telah maju dalam pengembangan etika
,seperti terefleksikan dalam etika kedokteran dan peradilan. Etika ini bisa
jadi salah satu sumber tuntunan bagi para professional dalam pelaksanaan
pekerjaan mereka. Pengembangan etika birokrasi ini tentunya menjadi satu
tantangan bagi para sarjana dan praktisi administrasi publik dan semua pihak
yang menginginkan perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di
Indonesia.
Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa
Etika Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan
sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat
birokrasi tiu sendiri yang seiring dengan semakin komplesnya permasalahan yang
ada dalam masyarakat dan seiring dengan fungsi pelayanan dari Birokrat itu
sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur
dan diberdayakan.
Untuk itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan
lebih beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan
demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang
menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat.
D. Darimana Etika Birokrasi Dibentuk.
Terbentuknya Etika Birokrasi tidak terlepas dari kondisi yang ada di dalam
masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan atau
budaya di tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-nilai
yang ada dan berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap dan perilaku yang
nantinya dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi
pemerintahan yang merupakan bagian dari fungsi aparat birokrasi itu sendiri.
Di negara kita yang masih kental budaya paternalistik atau tunduk dan taat kepada
Bapak atau pemimpin pemerintahan yang juga merupakan pemimpin birokrasi,
sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk menegur para aparat Birokrasi bahwa
yang dilakukannya itu tidak etis atau tidak bermoral, mereka lebih banyak diam
dan malah manut saja melihat perilaku yang adan dalam jajaran aparat birokrasi.
Dalam kondisi seperti di atas, inisiatif penetapan Etika bagi aparat
Birokrasi atau penyelenggara pemerintahan hampir sepenuhnya berada di tangan
pemerintah. Dimana pemerintah atau organisasi yang disebut birokrasi merasa
paling berkuasa dan merasa dialah yang mempunyai kewengan untuk menentukan
sesuatu itu etis atau tidak bagi dirinya menurut versi atau pandangannya
sendiri, tanpa mempedulikan apa yang aturan main di dalam masyarakat. Permasalahan
ini sangat rumit karena Etika Birokrasi cenderung diseragamkan melalui
peraturan Kepegawaian yang telah diatur dari Birokrasi tingkat atas atau
pemerintah pusat, sementara dalam pelaksanaan tugasnya dia berada di
tengah-tengah masyarakat, yang jadi pertanyaan sekarang apakah yang dikatakan
Etis menurut peraturan kepegawaian yang mengetur Aparat Birokrasi dapat dapat
dikatakan Etis pula dalam masyarakat ataupun sebaliknya.
Menurut Drs. Haryanto,MA dalam makalahnya mengatakan bahwa : Adalah sulit
untuk menyetujui atau tidak mengenai perlunya Etika tersebut diundangkan secara
formal. Etika sebagaimana telah dikatakan sebelumnya sangat terkait dengan
moralitas yang mana di dalamnya memiliki pertimbangan-pertimbangan yang jauh
lebih tinggi tentang apa yang disebut sebagai ‘kebenaran dan ketidakbenaran’
dan ‘kepantasan dan ketidakpantasan’.
Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan
dengan Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan
peraturan Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang tidak menyentuh
permasalahan Etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi disebut moral. Di sini
tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu diformalkan atau tidak tetapi
yang terpenting adalah bagaimana penerapannya serta sangsi yang jelas dan
tegas, ini semua mambutuhkan kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri
untuk mentaatinya.
Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal
sangsi yang menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak ada sangsi fisik atau
hukuman tetapi berupa sangsi social dalam masyarakt, seperti dikucilkan,
dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkukgan masyarakat tersebut,
sementara bagi Aparat Birokrasi sangat sulit, karena masyarakat enggan dan
sungkan (budaya Patron yang melekat).
Begitu rumit dan kompleksnya permasalahan pemerintahan dewasa ini membuat
para aparat birokrasi mudaj tergelincir atau terjerumus kedadalam perilaku yang
menyimpang belum lagi karenan tuntutan atau kebutuhan hidupnya sendiri, untuk
itu perlu adanya penegasan paying hukum atau norma aturan yang perlu disepakati
bersama untuk dilakukan dan diayomi dengan aturan hukum yang jelas dan sangsi
yang tegas bagi siapa saja pelanggarnya tanpa pandang bulu di dalam jajaran
Birokrasi di Indonesia, seiring dengan itu oleh Paul H. Douglas dalam bukunya
“Ethics in Government” yang dikutip oleh Drs. Haryanto, MA, tentang
tindakan-tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat pemerintah yang
juga merupakan aparat Birokrasi, yaitu :
1. Ikut
serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan
pribadi dengan mengatasnamakan jabata kedinasan.
2. Menerima
segala sesuatu hadiah dari pihak swsta pada saat ia melaksanakan transaksi
untuk kepentinagn dinas.
3.
Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat it berada dalam
tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.
4.
Membocornakan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak
yang tidak berhak.
5. Terlalu
erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam
menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.
Dengan demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku
dan tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan
kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu
perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak
tertulis dan sangsinya berupa sangsi social yang situasional dan kondisional
tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut.
Untuk itu kami mencoba merekomendasikan mengenai Kode Etik Birokrasi
mengacu kepada ketentuan Peraturan kepegawaian bagi Pegawai Negeri di Indonesia
yang notabenen merupakan Aparat Birokrasi itu sendiri.
E. Peraturan Kepegawaian Sebagai Bagian Dari Penerapan Etika Birokrasi.
Berbicara tentang Etika Birokrasi tidak dapat dipisahkan dari Etika
Aparatur Birokrasi itu sendiri karena ketika kita Etika Birokrasi didengungkan
secara tertulis memang belum diuraikan dengan jelas namun secara eksplisit
Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para
aparat Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa
Birokrasi merupakan sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan yang
terstruktur dari pusat sampai kedaerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang
disebut hirarki. Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para
apata birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat
Birokrasi secara kongrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil
maupun Militer, yang secara Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan
fungsi masing-masing sessuai aturan yang telah ditetakan.
Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi
Birokrasi atau Pegawai Negeri yang secara structural telah diatur aturan
mainnya, dimana kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, yang telah diatur
lewat Undang-undang Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri
Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia ( Sapta
Prasetya KORPRI) dan dikalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) disebut Sapta
Marga.
Dengan sendirinya Kode Etik itu dibaca secara bersama – sama pada kesempatan
tertentu yang kadang –kadang diikuti oleh suatau wejangan dari seorang
pimpinanupacara disebut inspektur upacara ( IRUP ), maksudnya adalah untuk
menciptakan kondisi – kondisi moril yang menguntungkan dalam organisasi yang
berpengalaman dan mempertumbuhkan sikap mentalyang diperlukan, juga untuk
menciptakan moral yang baik. Kode Etik tersebut biasanya dibaca dalam upacara
bendera, upacara bulanan atau upacara ulang tahun organisasi yang bersangkutan,
dan upacara – upacara nasional.
Setiap organisasi, misalnya PNS atau TNI dan lain-lain ada usaha untuk
membentuk Kode Etik yang lebih mengikat atau mengatur anggotanya agar lebih
beretika dan bermoral. Namun sampai sekarang belum diketahui sampai seberapa
jauhnya dan juga belum dapat dipantau secara jelas dari perbuatan seseorang
apakah yang bersangkutan melanggar Etika atau Kode Etik atau tidak, karena
belum jelas batasannya dan apa sangsinya, sehingga benar-benar dapat
dipergunakan sebagai ukuran atau criteria untuk menilai perilaku atau tingkah
laku aparat Birokrasi sehingga disebut beretika atau tidak.
Tetapi apapun dan bagaimanapun maksud yang hendak dicapai dengan membentuk,
menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya Aparat Birokrasi lebih
jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih rajin serta yang
terpenting lebih memiliki moral yg baik terhindar dari perbuatan tercela
seperti korupsi, kolusi, nepotisme & lain-lain.
Agar tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas,
maka perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang tegas dan
jelas kepada mereka yang melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan.
Dalam hubungannya dengan Kode Etik Pegawai Negeri yaitu dengan betul-betul
menjiwai, menghayati dan melaksanakan Sapta Pra Setya Korpri, serta
aturan-aturan kepegawaian yang telah ditentukan atau ditetapkan sebagai aturan
main para aparat Birokrasi.
Adapun aturan-aturan pokok yang melekat pada seorang Pegawai Negeri atau
Aparat Birokrasi yang dapat dijadikan acuan Kode Etiknya dapat dilihat sebagai
berikut :
1. Aturan
mengenai Pembinaan Pegawai Negeri Sipil
Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum
pemerintahan secara berdayaguna dan berhasilguna dalam rangka usaha mewujutkan
masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual, dimana diperlukan
adanya Pegawai Negeri sebagai unsure aparatur negara yang penuh kesetiaan dan
ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih, berwibawa
bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggungjawabnya. Dlam hubungan ini
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 telah meletakkan dasar yang kokoh untuk
mewujutkan Aparat Birokrasi atau PNS seperti dimaksud di atas dengan cara
mengatur kedudukan, kewajiban bagi Aparat Birokrasi sebagai salah satu
kewajiban dan langkah usaha penyempurnaan aparatur negara di bidang
kepegawaian.
2. Aturan menegnai kedudukan Pegawai Negeri sipil
Pegawai Negeri sipil adalah unsure aparatur negara,
abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada
pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan
dan pembangunan, pelayanan kepada masyarakat, mengatur masyarakat atau regulasi
dan memberdayakan masyarakat. Kesetiaan dan ketaatan penuh tersebut mengandung
pengertian bahwa pegawai negeri berada sepenuhnya dibawah aturan yang telah
ditentukan.
3. Penghargaan Pegawai Negeri sipil
Kepada Pegawai negeri dapat diberikan penghargaan
apabila telah menunjukkan kesetiaan dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja
yang baik, dianggap berjasa bagi negara dan masyarakat perlu diberikan
penghargaan kepada Pegawai Negeri yang bersangkutan berupa tanda jasa, kenaikan
pangkat istimewa yang secara otomatis kenaikkan gajinya sesuai pangkat, dengan
harapan agar menjadi contoh kepada yang lain dalam melaksanakan tugas.
4. Keanggotaan Pegawai negeri dalam Partai Politik
Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya agar lebih beretika dan bermoral, supaya terhindar dari kepentingan
partai politik, maka sebaiknya Pegewai Negeri yang bersangkutan memundurkan diri
demi menjaga moralitas yang merupakan etika aparat birokrasi.
5. Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil
Ketentuan tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil diatur
dalam Peratuiran Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Dalam Peraturan Pemerintah
tersebut antara lain diatur hal-hal sebagai berikut : Kewajiban, larangan,
sangsi, tata cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan terhadap hukuman
disiplin yang kesemuanya dapat menjadi acuan dalam beretika bagi seorang aparat
Birokrasi atau Pegawai Negeri. Peraturan disiplin Pegawai Negeri yang menjadi
kewajiban dan harus ditaati sesuai Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1980, antara lain mengatur tentang :
- Kesetiaan
terhadap Pancasila dan UUD 1945, Negara dan Pemerintah.
- Mengangkat
dan mentaati sumpah/ janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/ janji jabatan
berdasarkan peraturan yang berlaku serta siap menerima sangsinya.
- Menyimpan
rahasia negara dan atau rahasi jabatan dengan sebaik-baiknya.
- Bekerja
dengan jujur, tertib, cermat, bersemangat untuk kepentingan negara.
- Segera
melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan
atau merugikan negara/ pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan
material.
- Mentaati
ketentuan jam kerja.
- Memberikan
pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
- Bersikap
adil dan bijaksana terhadaop bawahannya.
- Menjadi
atau memberikan contoh teladan terhadap bawahannya.
- Memberikan
kesempatan kepada bawahannya untuk meningkatkan kariernya.
- Berpakaian
rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap
masyarakat, sesama pegawai dan atasannya.
Sementara Larangan yang merupakan aturan main yang turut mengatur perilaku
aparat Birokrasi atau pegawai Negeri menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor
30 Tahun1980, yang juga dapat dijadikan sebagai Kode Etik Birokrasi, yaitu
larangan seperti :
- Melakukan
hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah atau
Pegawai Negeri sipil.
-
Menyalahgunakan wewenangnya.
-
Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara.
- Menerima
hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun yang diketahui atau
patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau
pekerjaan Pegawai Negeri yang bersangkutan.
- Memasuki
tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat pegawai negeri
sipil, kecuali kepentingan jabatan.
- Bertindak
sewenang-wenang terhadap bawahannya.
- Bertindak
selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapat pekerjaan
atau peranan dari kantor/ instansi pemerintah.
- Melakukan
pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk
kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.
Semua kewajiban dan larangan yang diuraikan diatas kiranya dapat dipahami
oleh pegawai negeri sipil selaku aparat birokrasi sebagai pagar atau norma dan
aturan yang merupakan bagian dari Etika atau kode etik Pegawai Negeri yang
notabenen merupakan aparat birokrasi.
Selain Kewajiban dan Larangan yang harus ditaati oleh Pegawai Negeri, juga
yang tidak kalah penting dalam pembentukan Etika Birokrasi adalah sangsi atau
hukuman yang setimpal dengan pelanggaran atas ketentuan tersebut di atas. Jenis
sangsi atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada Pagawai Negeri sangatlah
bervariasi sesuai tingkat pelanggaran, adapun jenis sangsi tersebut menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 terdiri dari :
1. Hukuman disiplin ringan antara
lain :
- teguran lisan
- teguran tertulis
- pernyataan tidak puas secara
tertulis.
2. Jenis hukuman disiplin sedang,
antara lain :
- penundaan kenaikkan gaji berkala
untuk paling lama satu tahun
- penurunan gaji sebesar satu kali
gaji berkala untuk paling lama satu tahun.
- Penundaan kenaikan pangkat untuk
paling lama satu tahun.
3. Jenis hukuman disiplin berat,
terdiri dari :
- penurunan pangkat pada pangkat
yang setingkat lebih rendah paling lama satu tahun.
- Pembebasan dari jabatan.
- Pemberhentian dengan hormat tidak
atas permintaan sendiri selaku pegawai negeri sipil.
- Pemberhentian dengan tidak hormat
sebagai pegawai negeri sipil.
Dari sangsi hukuman yang diberikan dan patut diterima bagi siapa saja
pelanggar Etika atau peraturan yang turut mengatur moralitas para aparat
birokrasi di atas, jelaslah bagi kita beratnya sangsi atau hukuamn yang telah
ditentukan, namun sekarang kembali lagi kepada penegakkan sangsi atas
pelanggaran Etika tersebut, apa betul-betul dilaksanakan atau ditegakkan kepada
mereka yang melanggar atau hanya sebatas retorika ataupun sangsi social saja,
karena sangsi social hanya efektif apabila aparat Birokrasi itu berada di
tengah-tengah masyarakat, sementara apabila dalam organisasi Birokrasi harus
tegas berupa sangsi hukuman sesuai peraturan perundang-undangan tersebut di
atas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peraturan kepegawaian juga dapat
dijadikan salah satu bagian dari kode Etik Birokrasi yang nantinya dapat
mengatur segala bentuk tingkah laku dari Aparat Birokrasi dengan segala sangsi
yang mengikat, sehingga diharapkan pelaksanannya dapat membuat aparat birokrasi
lebih beretika. Jadi selain etika yang berlaku dalam masyarakat dimana aparat
birokrasi merupakan bagian dalam masyarakat, maka secara otomatis dia harus
terikat dengan aturan tersebut, sementara di satu sisi Aparat Birokrsi
mempunyai aturan main sendiri yang secara Nasional di Seluruh Indonesia dapat
diterapkan yaitu tercermin dalam Sapta Pra Setya Korpri bagi pegawai negeri dan
Sapta Marga bagi TNI, serta aturan Kepegawaian yang berlaku dan juga ketentuan
atau sangsi yang tegas dan nyata. Ini diharapkan dapat menjadi Kode Etik
Birokrasi dan menjadi aturan main dalam dalam melaksanakan tugas dan fungsi
Birokrasi agar dikatakan birokrasi lebih beretika dan bermoral.
F. P E N U T U P
Uraian-uraian dari makalah yang disajikan diatas, hanya merupakan konsep
ideal yang diharapka dari aparat pelaksana pemerintahan di Indonesia yang
merupakan aparat birokrasi di negara kita yang mempunyai tugas dan fungsi pokok
untuk melayani masyarakat, mengatur masyarakat dan memberdayakan masyarakat.
Fungsi-fungsi ini dapat dilaksanakn dengan baik apabila Aparat Birokrasi
tersebut memiliki Etika dalam bekerja.
Etika Birokrasi bukan hanya sekedar retorika yang didengungkan baik lewat
Sapta Pra Setya Korpri maupun Sapta Marga dan sederetan Undang-undang atau
Peraturan Pemerintah Tentang kepegawaian, tetapi lebih dari itu bagaiaman
ketentuan-ketentuan tersebut dapat dihayati dan diamalkan dalam berperilaku
sebagai Aparat Birokrasi dan yang tidak kalah penting yaitu bagaiman penegakkan
hukum atau sangsi yang tegas bagi para pelanggar aturan yang telah disepakati
dan ditentukan tersebut. Hukuman atau sangsi perlu ditegakkan secara merata
tanpa pandang bulu apakah dia atasan atau bawahan semuanya harus sama di mata
hukum.
Masyarakat juga berhak menentukan kode Etik atau aturan dalam masyarakat
yang juga turut mengatur keberadaan seorang Aparat Birokrasi di lingkungannya,
kalau memang melanggar harus ada komitmen bersama untuk mentaati aturan yang
ada di tengah-tengah masyarakat. Jadi yang disebut Etika Birokrasi merupakan
norma aturan yang melekat pada anggota atau aparat Birokrasi itu sendiri di
manapun dan kapan dia berada, baik di kantor maupun di tengah-tengah masyarakat
dia terikat dengan aturan kepegawaian dan aturan norma dalam masyarakat yang
menjadi lansasan Etika dalam bertindak dan berperilaku dalam melaksanakan
tugasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar