LATAR BELAKANG
Peranan
dan konsep – konsep dari birokrasi yang banyak dikemukakan yang kini
diimplementasikan kedalam birokrasi dan tidak lagi dikaburkan dengan konsep
manajemen, yang diharapkan menciptakan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan
masyarakat atau kepuasan publik. Dalam mewujudkan kepentingan administrasi
publik dalam pemenuhan kebutuhan publik sangat diperlukan birokrasi yang baik
dan benar, maka diperlukan penyempurnaan birokrasi dalam pemerintahan yang
memusatkan pada perubahan sikap mendasar dari birokrasi itu sendiri. Didalam
penyelenggaraan birokrasi tidak ayal juga sering terjadi akan penyimpangan –
penyimpangan sosial dalam birokrasi terutama menunjukan adanya kecenderungan
mengutamakan kepentingan sendiri, mempertahankan status quo dan menghalangi
adanya perubahan yang cenderung sentralistik. Citra buruk seperti itu semakin
mewabah dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan
kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam
bentuknya, serta lambatnya pelayanan, dan diikuti dengan prosedur yang
berbelit-belit serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa mendorong
masyarakat untuk mencari jalan pintas dengan suap atau berkolusi dengan para
pejabat dalam rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang cepat.
Situasi seperti ini pada gilirannya seringkali mendorong para pejabat untuk
mencari kesempatan dalam kesempitan agar mereka dapat menciptakan rentetan dari
keinginan masyarakat yang ingin mendapat pelayanan cepat untuk pelayanan
berikutnya. Tentu saja ini menjadi fenomena menarik dan tidak asing dikalangan
masyarakat dengan adanya praktek-praktek penyalahgunaan wewenang dan tanggung
jawab pada tingkat managerial birokrasi.
Keseluruhan kondisi empiris yang terjadi
secara akumulatif seperti yang terjadi pada negeri ini dengan rentetan penyakit
– penyakit telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan Weberian yang
memfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan unsur-unsur dalam proses pemerintahan.
Birokrasi dalam keadaan demikian, hanya berfungsi sebagai pengendali, penegak
disiplin, dan penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan yang sangat besar,
tetapi sangat mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat. Untuk itu, dalam
penegasannya perlu adanya sikap dalam membuat bentuk dan model birokrasi yang
bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, transparan dan pengelolaan administrasi
yang akuntabel, melalui perubahan sistem dan pemangkasan struktur birokrasi
serta model administrasi dan pemerintahan yang baik (good governance) demi
kesejahteraan bersama.
KONSEP TEORI
Risman K. Umar (2002) mendifinisikan
bahwa penyakit atau patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku
birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam
birokrasi.
Patologi Birokrasi juga diartikan
dalam beberapa artian seperti sebagai berikut:
1. Birokrasi
sebagai organisasi yang berpenyakit (patologis)
2. Organisasi
dan perilaku birokrat yang inefektif dan inefisien
3. Struktur dan
fungsi organisasi besar yang sering melakukan kesalahan dan tidak mampu
berubah.
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA.,
(1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis
penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula
bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu
menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik,
ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal.
Menurut Sondang
P. Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara
lain :
1. Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
2.
Pengaburan masalah
3. Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
4. Indikasi mempertahankan status quo
5. Empire bulding (membina kerajaan)
6. Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
7. Ketidakpedulian pada kritik dan saran
8. Takut mengambil keputusan
9. Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
10. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,
11. Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.
3. Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
4. Indikasi mempertahankan status quo
5. Empire bulding (membina kerajaan)
6. Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
7. Ketidakpedulian pada kritik dan saran
8. Takut mengambil keputusan
9. Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
10. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,
11. Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.
ANALISIS
Birokrasi
merupakan wujud terbaik organisasi karena menyediakan konsistensi,
kesinambungan, kemungkinan meramalkan, stabilitas, sifat kewaspadaan, kinerja
efisien dari tugas-tugas, hak keadilan, rationalisme, dan profesionalisme. Menurut
Peter Al Blau dan Charles H.Page dalam Bintoro, birokrasi dimaksudkan untuk
mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak
orang. Birokrasi adalah tipe organisasi yang bertujuan mencapai tugas-tugas
administratif yang besar dengan cara mengoordinasikan secara sistematis
(teratur) pekerjaan dari banyak orang. Secara harfiah beberapa dari
keuntungan-keuntungan birokrasi pemerintah yang dijalankan seperti efisiensi, ideal cocok untuk memperkecil
pengaruh dari politik dan pribadi di dalam keputusan-keputusan organisatoris
dan wujud terbaik organisasi karena membiarkan memilih pejabat-pejabat (dan
yang lain) (Weber, 1978). Namun, Birokrasi Weberian yang
diharapkan akan menghasilkan hal-hal yang telah tersebut di atas, ternyata
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di
kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat
patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under
producing), tidak obyektif, anti terhadap kontrol dan kritik, tidak mengabdi
kepada kepentingan umum karena orientasi
lebih pada melayani pemerintah, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah
menjadi instrumen politis dengan sifat sangat otoritatif dan represif.
Kutipan Lord Acton (1972), ”Power tends to
corrupt, abolute power corrupt absolutlely” (Kekuasan cenderung untuk berbuat
korupsi, kekuasan yang absolut berkorupsi secara absolut pula). Walaupun bahwa
korupsi bukan hanya adanya absolutisme kekuasaan namun karena adanya dekadensi
moral para birokrat (para birokrat merasa harus mengembalikan modal yang sudah
dikeluarkan pada saat pemilu dengan berbagai macam cara), namun absolutisme
dapat menjadikan kesempatan korupsi itu lebih mudah. Hal ini tentu karena
lemahnya bahkan tidak adanya kontol dari luar. Tanpa akuntabilitas, korupsi para
birokrat sulit sekali diungkap. Korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan
sebagian kecil dari Penyakit Birokrasi yang mana akan menyebabkan terjadinya
inefisiensi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan. Inefisiensi ini yang
menyebabkan krisis multidimensional (baik segi ekonomi, politik, sosial budaya,
dan krisis moral).
Menurut
Sondang P. Siagian, gejala – gejala penyakit dalam birokrasi bersumber pada
lima masalah pokok. Yang pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di
lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini
mengakibatkan bentuk penyakit birokrasi seperti: penyalahgunaan wewenang dan
jabatan menerima sogok, dan nepotisme. kedua,
rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan
operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta
pegawai sering berbuat kesalahan. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar
hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
Keempat, manifestasi perilaku
birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang,
pura-pura sibuk, dan diskriminatif. Kelima,
akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif
terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai,
ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih.
Selain gejala
yang di ungkapkan tersebut, terdapat juga beberapa hal yang menjadi sorotan
yang menjadi masalah penyakit publik diantaranya yaitu aparat birokrasi telah
terkooptasi sikap dan perilakunya oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan
politik sang patron yang cenderung vested interest, Mereka menjadi sangat
arogan, ingin menang sendiri, merasa benar sendiri dan menafikan kepentingan
rakyat (Kuntjorodjakti, 1980), lemahnya proses rekruitmen, seleksi serta
pengembangan sumberdaya manusia (SDM) yang tidak terprogram dengan baik. Kita
lihat banyak birokrasi publik yang diisi oleh tenaga-tenaga yang tidak
profesional dan seringkali karena berbeda ideologi politik dengan pimpinannya
ditempatkan pada tempat atau posisi yang tidak semestinya (the right man in the
wrong place) sehingga tenaga profesional ini juga seringkali tidak dapat
didayagunakan secara optimal karena alasan kepangkatan posisi dan sebagainya.
evaluasi program kepegawaian sangat jarang dilakukan dan walaupun ada hasilnya,
biasanya sangat diragukan obyektivitasnya, karena selain bernuansa ‘asal bapak
senang’ juga dilakukan hanya untuk memenuhi formalitas belaka, manajemen
pelayanan publik (public sevice management) yang terlalu didominasi paradigma
dikotomi kebijakan-administrasi, manajemen ilmiah, matematis dan mengabaikan
paradigma diskursif, perilaku sosial, sistemik, pilihan publik dan pilihan
sosial serta politik penggajian dan kesejahteraan pegawai yang kurang adil
menyebabkan pegawai kurang mempunyai motivasi kerja sehiingga memicu timbulnya
perilaku kolutif dan koruptif (Islamy, 1998).
Melihat dari
penyakit birokrasi maka tidak ada cara lain untuk mengatasi masalah tersebut.
Kita harus memiliki sense of crisis, sense of urgency, sense of purpose
sehingga mampu mencarikan jalan keluar bagi krisis yang ada pada tubuh
birokrasi publik kita.
REKOMENDASI
Mar'ie Muhammad (Media Transparansi 1998) menyatakan bahwa good governance
itu ada jika pembagian kekuasaan ada. Jadi ada disperse of power, bukan concentrate
of power. Good governance sama dengan disperse of power, pembagian
kekuasaan di tambah akuntabilitas publik dan transparansi publik. Jadi kalau
tidak ada prinsip ini, good governance perlu untuk menekan
penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang biasanya itu menimbulkan korupsi.
Dan corrupt itu selalu abuse of power. Semakin tinggi kualitas
dari good governance, semakin rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah
kualitas good governance, korupsinya semakin tinggi.
Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi penyakit Birokrasi yaitu: Yang pertama,
perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi
bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi
tertentu saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja
namun juga reformasi yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat,
perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan
suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan. Yang kedua
pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum
sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan
penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para
koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan
hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang diperbuat. Pembentukan
supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara:
1) kepemimpinan yang adil dan kuat
2) alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari
kepentingan politik
3) adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan
kegiatan pemerintahan dalam birokrasi.
Yang ketiga
ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya
demokrasi dan rasa ber-tanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para
birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal yang semstinya dilakukan.
Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan
akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu
menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat
(Islamy, 1998).
DAFTAR PUSTAKA
Suhendra, k."Peranan Birokrasi Dalam
Pemberdayaan Masyarakat".Penerbit
:ALFABETA
Heliana komalasari. Makalah
Hukum Administrasi Negara : “Patologi Birokrasi, fungsi dan penerapannya
di Indonesia”. Online. (http://helianakomalasari.wordpress.com/2010/06/26/makalah-hukum-administrasi-negara-patologi-birokrasi-fungsi-dan-penerapannya-di-indonesia/).
Di kunjungi tanggal 4 Desember 2011
Risman kudrat umar. perubahan
patologi birokrasi ke etika pemerintahan melalui prinsip good governance.
online.
(http://rismankudratumar.blogspot.com/2008/11/perubahan-patologi-birokrasi-ke-etika_10.html).
Di kunjungi tanggal 4 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar