Pages

Subscribe:

Selasa, 10 Januari 2012

birokrasi


LATAR BELAKANG
            Peranan dan konsep – konsep dari birokrasi yang banyak dikemukakan yang kini diimplementasikan kedalam birokrasi dan tidak lagi dikaburkan dengan konsep manajemen, yang diharapkan menciptakan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat atau kepuasan publik. Dalam mewujudkan kepentingan administrasi publik dalam pemenuhan kebutuhan publik sangat diperlukan birokrasi yang baik dan benar, maka diperlukan penyempurnaan birokrasi dalam pemerintahan yang memusatkan pada perubahan sikap mendasar dari birokrasi itu sendiri. Didalam penyelenggaraan birokrasi tidak ayal juga sering terjadi akan penyimpangan – penyimpangan sosial dalam birokrasi terutama menunjukan adanya kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri, mempertahankan status quo dan menghalangi adanya perubahan yang cenderung sentralistik. Citra buruk seperti itu semakin mewabah dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam bentuknya, serta lambatnya pelayanan, dan diikuti dengan prosedur yang berbelit-belit serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa mendorong masyarakat untuk mencari jalan pintas dengan suap atau berkolusi dengan para pejabat dalam rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Situasi seperti ini pada gilirannya seringkali mendorong para pejabat untuk mencari kesempatan dalam kesempitan agar mereka dapat menciptakan rentetan dari keinginan masyarakat yang ingin mendapat pelayanan cepat untuk pelayanan berikutnya. Tentu saja ini menjadi fenomena menarik dan tidak asing dikalangan masyarakat dengan adanya praktek-praktek penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab pada tingkat managerial birokrasi.
 Keseluruhan kondisi empiris yang terjadi secara akumulatif seperti yang terjadi pada negeri ini dengan rentetan penyakit – penyakit telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan Weberian yang memfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan unsur-unsur dalam proses pemerintahan. Birokrasi dalam keadaan demikian, hanya berfungsi sebagai pengendali, penegak disiplin, dan penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan yang sangat besar, tetapi sangat mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat. Untuk itu, dalam penegasannya perlu adanya sikap dalam membuat bentuk dan model birokrasi yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, transparan dan pengelolaan administrasi yang akuntabel, melalui perubahan sistem dan pemangkasan struktur birokrasi serta model administrasi dan pemerintahan yang baik (good governance) demi kesejahteraan bersama.

KONSEP TEORI

Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa penyakit atau patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.
Patologi Birokrasi juga diartikan dalam beberapa artian seperti sebagai berikut:
1.      Birokrasi sebagai organisasi yang berpenyakit (patologis)
2.      Organisasi dan perilaku birokrat yang inefektif dan inefisien
3.      Struktur dan fungsi organisasi besar yang sering melakukan kesalahan dan tidak mampu berubah.
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal.
            Menurut Sondang P. Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :
1.  Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
2.  Pengaburan masalah
3.  Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
4.  Indikasi mempertahankan status quo
5.  Empire bulding (membina kerajaan)
6.  Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
7.  Ketidakpedulian pada kritik dan saran
8.  Takut mengambil keputusan
9.   Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
10. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,
11. Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.


ANALISIS
Birokrasi merupakan wujud terbaik organisasi karena menyediakan konsistensi, kesinambungan, kemungkinan meramalkan, stabilitas, sifat kewaspadaan, kinerja efisien dari tugas-tugas, hak keadilan, rationalisme, dan profesionalisme. Menurut Peter Al Blau dan Charles H.Page dalam Bintoro, birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe organisasi yang bertujuan mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengoordinasikan secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang. Secara harfiah beberapa dari keuntungan-keuntungan birokrasi pemerintah yang dijalankan seperti  efisiensi, ideal cocok untuk memperkecil pengaruh dari politik dan pribadi di dalam keputusan-keputusan organisatoris dan wujud terbaik organisasi karena membiarkan memilih pejabat-pejabat (dan yang lain) (Weber, 1978). Namun, Birokrasi Weberian yang diharapkan akan menghasilkan hal-hal yang telah tersebut di atas, ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, anti terhadap kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum  karena orientasi lebih pada melayani pemerintah, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen politis dengan sifat sangat otoritatif dan represif.
 Kutipan Lord Acton (1972), ”Power tends to corrupt, abolute power corrupt absolutlely” (Kekuasan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasan yang absolut berkorupsi secara absolut pula). Walaupun bahwa korupsi bukan hanya adanya absolutisme kekuasaan namun karena adanya dekadensi moral para birokrat (para birokrat merasa harus mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan pada saat pemilu dengan berbagai macam cara), namun absolutisme dapat menjadikan kesempatan korupsi itu lebih mudah. Hal ini tentu karena lemahnya bahkan tidak adanya kontol dari luar. Tanpa akuntabilitas, korupsi para birokrat sulit sekali diungkap. Korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan sebagian kecil dari Penyakit Birokrasi yang mana akan menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan. Inefisiensi ini yang menyebabkan krisis multidimensional (baik segi ekonomi, politik, sosial budaya, dan krisis moral).
Menurut Sondang P. Siagian, gejala – gejala penyakit dalam birokrasi bersumber pada lima masalah pokok. Yang pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk penyakit birokrasi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme. kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya. Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif. Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih.
Selain gejala yang di ungkapkan tersebut, terdapat juga beberapa hal yang menjadi sorotan yang menjadi masalah penyakit publik diantaranya yaitu aparat birokrasi telah terkooptasi sikap dan perilakunya oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan politik sang patron yang cenderung vested interest, Mereka menjadi sangat arogan, ingin menang sendiri, merasa benar sendiri dan menafikan kepentingan rakyat (Kuntjorodjakti, 1980), lemahnya proses rekruitmen, seleksi serta pengembangan sumberdaya manusia (SDM) yang tidak terprogram dengan baik. Kita lihat banyak birokrasi publik yang diisi oleh tenaga-tenaga yang tidak profesional dan seringkali karena berbeda ideologi politik dengan pimpinannya ditempatkan pada tempat atau posisi yang tidak semestinya (the right man in the wrong place) sehingga tenaga profesional ini juga seringkali tidak dapat didayagunakan secara optimal karena alasan kepangkatan posisi dan sebagainya. evaluasi program kepegawaian sangat jarang dilakukan dan walaupun ada hasilnya, biasanya sangat diragukan obyektivitasnya, karena selain bernuansa ‘asal bapak senang’ juga dilakukan hanya untuk memenuhi formalitas belaka, manajemen pelayanan publik (public sevice management) yang terlalu didominasi paradigma dikotomi kebijakan-administrasi, manajemen ilmiah, matematis dan mengabaikan paradigma diskursif, perilaku sosial, sistemik, pilihan publik dan pilihan sosial serta politik penggajian dan kesejahteraan pegawai yang kurang adil menyebabkan pegawai kurang mempunyai motivasi kerja sehiingga memicu timbulnya perilaku kolutif dan koruptif (Islamy, 1998).
Melihat dari penyakit birokrasi maka tidak ada cara lain untuk mengatasi masalah tersebut. Kita harus memiliki sense of crisis, sense of urgency, sense of purpose sehingga mampu mencarikan jalan keluar bagi krisis yang ada pada tubuh birokrasi publik kita.

REKOMENDASI
            Mar'ie Muhammad (Media Transparansi 1998) menyatakan bahwa good governance itu ada jika pembagian kekuasaan ada. Jadi ada disperse of power, bukan concentrate of power. Good governance sama dengan disperse of power, pembagian kekuasaan di tambah akuntabilitas publik dan transparansi publik. Jadi kalau tidak ada prinsip ini, good governance perlu untuk menekan penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang biasanya itu menimbulkan korupsi. Dan corrupt itu selalu abuse of power. Semakin tinggi kualitas dari good governance, semakin rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah kualitas good governance, korupsinya semakin tinggi.
            Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi penyakit Birokrasi yaitu: Yang pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan. Yang kedua pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang diperbuat. Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara:
1) kepemimpinan yang adil dan kuat
2) alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik
3) adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi.
Yang ketiga ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya demokrasi dan rasa ber-tanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat (Islamy, 1998).


DAFTAR PUSTAKA
Suhendra, k."Peranan Birokrasi Dalam Pemberdayaan Masyarakat".Penerbit :ALFABETA
Heliana komalasari. Makalah Hukum Administrasi Negara : “Patologi Birokrasi, fungsi dan penerapannya di Indonesia”.  Online. (http://helianakomalasari.wordpress.com/2010/06/26/makalah-hukum-administrasi-negara-patologi-birokrasi-fungsi-dan-penerapannya-di-indonesia/). Di kunjungi tanggal 4 Desember 2011
 Risman kudrat umar. perubahan patologi birokrasi ke etika pemerintahan melalui prinsip good governance. online. (http://rismankudratumar.blogspot.com/2008/11/perubahan-patologi-birokrasi-ke-etika_10.html). Di kunjungi tanggal 4 Desember 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar